Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak
pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah
tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar
mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis
karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin Khattab.
Ibu anak itu menjawab, Tidak, dia menangis karena kelaparan.
Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali
yang menandakan si ibu sedang memasak. Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar
kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat
sendiri isinya.
Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. Mengapa
ibu merebus batu? Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak
dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.
Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.
Saat itu pembantunya mengatakan,
Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat
mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?
Langsung Ibu itu menjawab, Andai
di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada
kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas
pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri
gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.
Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin
(Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip
tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan
spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani
rakyat.
Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar
nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih dapat dijalankan
oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk Islam.
Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat
kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah
dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat
meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi sosial.
Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi
sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya
perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan
beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu sudah
mendekati ambang puasa ideal.
Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini
merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika
sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada
kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan pribadi
kepada keshalihan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar