Kamis, 15 Agustus 2013

KISAH KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB


Dikisahkan, pada suatu malam di bulan Ramadan, Umar mengajak pembantunya berkeliling kota. Semua rumah gelap menandakan penghuninya sudah tidur. Ada satu rumah yang pintunya masih terbuka sedikit, karena tertarik Umar mendatanginya. Ternyata ada tangisan seorang anak yang suaranya hampir habis karena kelelahan.
Mengapa anak itu menangis terus, sakitkah? Tanya Umar bin Khattab. Ibu anak itu menjawab, Tidak, dia menangis karena kelaparan.

Umar melihat di dalam ada tungku yang menyala di atasnya ada kuali yang menandakan si ibu sedang memasak. Apa yang sedang ibu masak? Tanya Umar kembali. Si ibu mempersilahkan tamu yang tak dikenalnya itu untuk melihat sendiri isinya.

Betapa terpananya Umar ketika melihat isi kuali itu batu. Mengapa ibu merebus batu? Tanya Umar.
Ibu itu menjawab, Supaya anak saya melihat ibunya sedang memasak dan berhenti menangis. Itu yang dapat saya lakukan sampai tuan datang.

Terharu Umar mendengarnya. Matanya tertunduk dan menggeleng sedih.
Saat itu pembantunya mengatakan,  Apakah ibu tidak tahu di Madinah ada Amirul Mukminin tempat ibu dapat mengadukan keadaan ibu untuk mendapatkan pertolongannya?

Langsung Ibu itu menjawab,  Andai di kota ini ada seorang Khalifah, maka dialah yang seharusnya datang kepada kami untuk melihat nasib kami, rakyatnya yang kelaparan.
Mendengar ucapan itu Umar bin Khattab langsung lemas dan bergegas pergi mengajak pembantunya mengambil sepikul gandum. Umar pun memanggul sendiri gandum untuk rakyatnya yang sedang kelaparan.

Kisah itu menggambarkan betapa kokohnya spiritual seorang pemimpin (Umar) dan seorang rakyat jelata (ibu) yang miskin tetapi memelihara prinsip tawaru atau menjaga diri dari sikap meminta-minta. Di sisi lain, ada kekuatan spiritual seorang pemimpin yang menyadari dan menyesali kelalaiannya melayani rakyat.

Sebagai umat Islam yang hidup di zaman modern, kita berharap agar nilai-nilai yang dijalankan Khalifah Umar bin Khattab masih dapat dijalankan oleh para pemimpin di negeri ini yang mayoritas berpenduduk Islam.

Kita juga berharap, ketika kita benar-benar menjadi pemimpin umat kelak, dapat memberikan pelayanan kepada rakyat, khususnya rakyat yang tengah dilanda kelaparan dan kesusahan. Dengan berpuasa, kita berharap dapat meningkatkan rasa kepekaan terhadap kondisi sosial.

Sebagai manifestasi kesalehan individual dan sosial, puasa menjadi sangat penting ketika mampu menciptakan kondisi kondusif untuk terjadinya perubahan demi terciptanya masyarakat yang egaliter, toleran, dinamis dan beradab. Dan, orang yang mampu menciptakan masyarakat seperti itu sudah mendekati ambang puasa ideal.

Nilai-nilai muamalah (kemanusiaan) yang dibawa selama Ramadan ini merupakan bukti alangkah besarnya kepedulian Allah terhadap problematika sosial. Ia tidak hanya peduli terhadap keshalihan pribadi tapi lebih kepada kesalihan sosial sehingga Ia pun menggantungkan keabsahan keshalihan pribadi kepada keshalihan sosial.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar